Diposkan oleh Summer-Lock di 18:58 Label: Sastra Indonesia
Azan subuh menggema di pagi yang dingin. Bergegas Ibu Sitti beranjak dari
tidurnya yang lelap. Suhu yang dingin tak menghalangi segala aktivitas ibu yang
telah berumur lebih dari 50 tahun. Sudah 5 tahun berlalu, tapi kehidupannya tak
kunjung membaik malah lebih memprihatinkan. Ladang peninggalan suami tercinta,
juga tak mampu menghidupinya beserta pengabdi setianya semenjak Bu Sitti makmur
dan kaya. Walaupun telah jatuh miskin yang bermula ketika suami Bu Sitti pergi
entah kemana tak tahu rimbanya. Tapi, Mbok Masitoh yang lebih akrab dipanggil
Mbok Itoh tetap setia menemani Bu Sitti di sebuah rumah yang keadaannya semakin
memprihatinkan.
Hari-hari yang dilalui Bu Sitti sungguh sangat berat dipikulnya. Apalagi
dengan himpitan ekonomi yang semakin menusuk hingga jantung. Harga sandang dan
pangan melonjak tinggi semenjak kenaikan BBM yang begitu menyengsarakan rakyat
kecil. Walaupun telah ada BLT (Bantuan Langsung Tunai), namun tetap tak mampu
menopang hidup dua manusia yang ak berdaya ini.
Untunglah Bu Sitti merupakan salah satu siswa yang pandai. Semenjak 20
tahun yang lalu dia memutuskan untuk mengabdi di sebuah sekolah negeri di
desanya. Jalan berlumpur dan teriknya matahari tidak melumpuhkan niatnya untuk
terus mengajar sampai waktunya pension Gaji yang terimanya tidaklah sebanding
dengan pengorbanannya, maklum sekolah ini merupakan sekolah yang sama sekali
tidak tersentuh oleh uluran tangan pemerintah.
Keadaan sekolah yang tak layak lagi, tidak mengurungkan semangat 78 siswa
untuk tetap menuntut ilmu. Sikap serta tutur kata yang baik yang selalu
diberikan siswa-siswi kepada para pahlawan tanda jasa itu. Seragam putih
abu-abu yang bersahaja dan rapi sangatlah sedap dipandang mata.
Ketika bel berbunyi tampak para siswa berlarian masuk kelas,ini bukan
karena takut dihukum oleh guru melainkan takut ketinggalan menerima ilmu dari
gurunya.
Bu Sitti merupakan guru yang tak diragukan lagi kepandaiannya. Kemampuan
mengajarnya membuat para siswa menatap kagum tanpa berkedip mata. Bu Sitti
memang mengajar pelajaran Matematika. Karena tenaga guru yang sedikit,
kadang-kadang ia juga merangkap menagajar Bahasa Indonesia, Fisika, dan Agama.
Hari ini merupakan hari yang melelahkan bagi Ibu Sitti karena kegiatan
belajar mengajar berlangsung dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Tapi kelelahan
ini dapat ditepis dengan semangat dan antusias muridnya yang sangat
membakar-bakar. Karena kelelahan Ibu Sittipun terlelap tidur di selimuti gelap
malam.
“Bu..Bu Sitti bangun, sudah subuh,” ucap Mbok Itoh.
“Iya..Mbok, jadi kesiangan karena kelelahan,” balasnya disertai dengan
senyum.
Tampak muka Bu Sitti yang begitu lelah, letih, dan pucat. Beranjak Bu Sitti
dari ranjang dan bersiap-siap untuk sholat Subuh. Kokok ayam semakin menggema
terdengar di telinga dan sang surya mulai bangun dari peristirahatannya. Bu
Sitti cepat-cepat pergi untuk ke sekolah untuk melaksanakan upacara Hari
Kebangkitan Nasional.
Di perjalanan, nampak hilir mudik Kuda, Kijang, dan Bebek di jalan raya. Upacara
Hari Kebangkitan Nasional dimulai, petugas upacara tampak serius dan gugup
sedangkan peserta upacara khidmat mengikuti upacara. Jam sudah menunjukkan
pukul 8.15 WIB, para siswa menuju kelas untuk menyiapkan bahan untuk pelajaran
pertama untuk hari ini. Bu Sitti mulai melangkah ke luar ruang guru dan menuju
kelas X F untuk mengajar Matematika.
“Assalamu’alaikum, anak-anak”, ucapnya dengan lembut.
“Wa’alaikumsalam, Bu Sitti”, sambut muridnya dengan semangat.
Pelajaran segera dimulai, secara tegas dan jelas Bu Sitti menerangkan
materi pelajaran tentang Logaritma. Para murid tidak melakukan apapun kecuali
memerhatikan penjelasan Bu Sitti, bahkan tak ada satupun pena ataupun pensil
menari-nari diatas buku. Dari kelas X F Bu Sitti menuju XI IPA 1 selanjutnya
XII IPA 3, dan terakhir ke X A untuk mengajar Matematika. Dan semua siswa
memperhatikan penjelasan Bu Sitti dengan sangat bersemangat.
Hari-hari berlalu, usia Bu Sitti semakin tua dan menjadi rentan terhadap
penyakit. Tapi Mbok Itoh, tetap sabar dan senang hati merawat Bu Sitti. Tak ada
perasaan terpaksa, jijik, dan mengeluh. Yang hanya ada kebahagian dan senyuman
yang ada di diri Mbok Itoh dalam melaksanakan tugas mulianya itu.
Sudah 3 hari Bu Sitti istirahat di atas ranjang, tak mampu melakukan
apapun, yang diandalkannya hanya Mbok Itoh yang selalu setia mendampinginya. Berkat
perawatan Mbok Itoh, keadaan Bu Sitti mulai membaik. Ia mulai kembali mengajar
dan melakukan kegiatan rutin lainnya, seperti pengajian, silahturahmi, dan
duduk bercanda bersama tetangga untuk mengusir rasa bosan dan lelah. Di sekolah
Bu Sitti disambut hangat oleh kepala sekolah, para guru, dan tentunya
siswa-siswi yang rindu akan wajah dan suara Bu Sitti.
Jalan Tak Ada Ujung
Posted on 28 November 2011.
Secara tidak sengaja dan di
luar keinginannya, seorang guru
Sekolah Rakyat di Tanah Abang terlibat dalam pergolakan revolusi yang sedang terjadi. Guru Isa, demikian ia biasa dipanggil, adalah
seorang tamatan HIK yang hidup tenteram semasa penjajahan Belanda. Jiwanya lembut,
penyuka musik, sepak bola, dan dikenal sebagai orang
baik oleh masyarakat. Berbeda dengan sifatnya yang tak menyukai kekerasan, ia
mengalami dan melihat kekejaman tentara Belanda.
Keadaan zaman Jepang
terus-menerus meneror dirinya hingga ia menjadi sangat takut meskipun mula-mula
hal itu tak disadarinya. Akhirnya lambat-laun ia menyadari ketakutan itu, tapi
jiwanya sudah lemah. Kelemahan jiwanya lama-kelamaan memengaruhi keadaan
jasmani Guru Isa. Akibatnya, enam bulan setelah perkawinannya dengan Fatimah,
ia tak sanggup meladeni dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami; ia
menderita impoten. Penyakitnya tak kunjung sembuh meskipun telah berobat ke
dokter.
Sesuai dengan jabatannya
sebagai wakil ketua panitia keamanan rakyat, Guru Isa menghadiri rapat yang
diadakan oleh pemuda Kebon Sirih. Ia tak dapat menolak ketika didesak untuk
menerima tugas sebagai kurir, mengantar surat-surat
di dalam kota dan senjata yang dibutuhkan dalam perjuangan. Tugas itu
dilaksanakannya juga meskipun dirinya merasa enggan dan takut.
Kemudian, Guru Isa berkenalan
dengan seorang pemimpin pejuang bernama Hazil. Rasa
kagum menyaksikan semangat yang berkobar dalam diri pemuda yang berperawakan
kurus itu ditambah dengan kegemaran yang sama akan music
Guru Isa seorang violis dan Hazil seorang komponis membuat Guru Isa menjadi
akrab dengan Hazil. Keduanya menjadi sahabat karib. Hazil sering mengunjungi
Guru Isa di rumahya di Jalan Jaksa. Guru isa melupakan kemalangannya dan
saat-saat seperti itu membuatnya merasa bahagia.
Guru Isa dan Hazil bersama-sama
berjuang dalam alur revolusi melawan Belanda yang berniat menancapkan kembali
kekuasaannya setelah Jepang kalah. Hanya motivasi yang mendorong kedua sahabat
itu berbeda. Guru Isa berjuang karena terpaksa dan takut, sedangkan Hazil
berjuang karena cita-cita pribadinya.
Perjuangan bagi Guru Isa sangat
mengerikan. Ia terpaksa turut metnindahkan senjata-senjata dari ibu kota ke luar kota. Terpaksa pula is
harus berhubungan dengan orang-orang kasar dan buas. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai kurir, ia selalu dikejar-kejar rasa takut. Bila ketakutan Guru
Isa menjadi-jadi, ia jatuh sakit. Penyakit malarianya kambuh
Jika Guru Isa sakit, Hazil-lah
yang selalu menjenguk dan memberi semangat agar sahabatnya itu sembuh. Namun,
jika sembuh, Guru Isa tak mampu menahan panggilan tugasnya untuk mengajar
murid-muridnya.
Di sela-sela Guru Isa sakit dan
mengajar itu terjadi peristiwa antara Hazil dan Fatimah, istri Guru Isa.
Fatimah akhirnya tak sanggup menahan derita karena suaminya impoten. Meskipun
pada awalnya is merasa jijik kalau mengingat keintimannya bersama kebutuhan
biologisnya dan mimpinya meraih kepuasan selalu mengalahkan rasa jijiknya.
Akhirnya, hubungan mesra
Fatimah dengan Hazil diketahui oleh Guru Isa ketika menemukan pipa rokok Hazil
di bawah bantalnya. Ia sangat marah. Ia mau menghancurkan istrinya kalau saja
istrinya ada di rumah pada saat ini. Namun setelah emosinya reda, ia merasa
takut untuk menanyakan hal itu kepada istrinyai Ia makin merasa rendah diri
karena ketidakberdayaannya melakukan tugas sebagai suami.
Suatu hari, Guru Isa bersama
Hazil dan Rachmat mendapat tugas melemparkan granat di Kramat setelah bioskop
bubar. Pekerjaan itu herjalan dengan baik. Namun, beberapa hari kemudian Guru
Isa mendapat berita bahwa salah satu pelempar granat itu tertangkap Belanda.
Guru Isa ingin melarikan diri,
tetapi tak jadi setelah berpikir tak ada orang yang akan menyembunyikannya.
Akhirnya, ia menunggu dan menghadapi apa pun yang akan terjadi pada dirinya.
Pada waktu menunggu ini timbul kembali kesadaran bahwa sesuatu yang dibayangkan
ternyata lebih besar daripada kejadian yang sebenarnya.
Kemudian, Guru Isa ditangkap
oleh tentara Belanda. Ia disiksa supaya mengakui perbuatannya. Timbul niatnya
untuk mengakui semua perbuatannya, tetapi rasa takutnya kembali menutup
mulutnya. Ia tak membuka mulut.
Suatu ketika Polisi Milker
mempertemukan Hazil di kamar tahanan Guru Isa. Tampak pula bekas siksaan pada
wajah Hazil. Namun, dalam pandangan Guru Isa, Hazil kini tidak lagi seperti
yang dikenalnya. Temannya yang selama ini dikagumi memiliki semangat yang
menyala-nyala dan selalu kelihatan tegar, hanya dengan “sebuah tempeleng di
kepalanya sudah cukup menyuruhnya bercerita. Hazil telah mengkhianati kawannya,
perjuangannya. Melihat begitu rapuhnya jiwa temannya, timbul kesadaran baru
dalam diri Guru Isa. Jika Hazil akhirnya dihancurkan oleh ketakutannya sendiri,
Guru Isa tidak mau mengalami hal yang sama.
“Guru Isa merasa perobahan
dalam dirinya. Rasa sakit siksaan pada tubuhnya tidak menakutkannya lagi.
…Orang harus belajar hidup dengan ketakut-ketakutannya…. Sekarang dia tahu….
Tiap orang punya ketakutannya sendiri, dan mesti belajar hidup dan mengalahkan
ketakutannya.”
Begitulah, kesadaran Guru Isa
ini berhasil mengatasi ketakutan yang selama ini selalu mengganggu jiwanya.
Kesadaran ini pula yang memulihkan kejantanannya sebagai lelaki. Ia tak lagi
impoten. Perasaan bahagia menyelimuti Guru Isa. Kesembuhan jiwa dan raga Guru
Isa, sungguh telah membawanya merasa sebagai pemenang. “Dan ketika Guru Isa
mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa
takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi.
Dia telah bebas.”
No comments:
Post a Comment