Wednesday, July 29, 2015

CERPEN



Diposkan oleh Summer-Lock di 18:58 Label: Sastra Indonesia
Azan subuh menggema di pagi yang dingin. Bergegas Ibu Sitti beranjak dari tidurnya yang lelap. Suhu yang dingin tak menghalangi segala aktivitas ibu yang telah berumur lebih dari 50 tahun. Sudah 5 tahun berlalu, tapi kehidupannya tak kunjung membaik malah lebih memprihatinkan. Ladang peninggalan suami tercinta, juga tak mampu menghidupinya beserta pengabdi setianya semenjak Bu Sitti makmur dan kaya. Walaupun telah jatuh miskin yang bermula ketika suami Bu Sitti pergi entah kemana tak tahu rimbanya. Tapi, Mbok Masitoh yang lebih akrab dipanggil Mbok Itoh tetap setia menemani Bu Sitti di sebuah rumah yang keadaannya semakin memprihatinkan.
Hari-hari yang dilalui Bu Sitti sungguh sangat berat dipikulnya. Apalagi dengan himpitan ekonomi yang semakin menusuk hingga jantung. Harga sandang dan pangan melonjak tinggi semenjak kenaikan BBM yang begitu menyengsarakan rakyat kecil. Walaupun telah ada BLT (Bantuan Langsung Tunai), namun tetap tak mampu menopang hidup dua manusia yang ak berdaya ini.
Untunglah Bu Sitti merupakan salah satu siswa yang pandai. Semenjak 20 tahun yang lalu dia memutuskan untuk mengabdi di sebuah sekolah negeri di desanya. Jalan berlumpur dan teriknya matahari tidak melumpuhkan niatnya untuk terus mengajar sampai waktunya pension Gaji yang terimanya tidaklah sebanding dengan pengorbanannya, maklum sekolah ini merupakan sekolah yang sama sekali tidak tersentuh oleh uluran tangan pemerintah.
Keadaan sekolah yang tak layak lagi, tidak mengurungkan semangat 78 siswa untuk tetap menuntut ilmu. Sikap serta tutur kata yang baik yang selalu diberikan siswa-siswi kepada para pahlawan tanda jasa itu. Seragam putih abu-abu yang bersahaja dan rapi sangatlah sedap dipandang mata.
Ketika bel berbunyi tampak para siswa berlarian masuk kelas,ini bukan karena takut dihukum oleh guru melainkan takut ketinggalan menerima ilmu dari gurunya.
Bu Sitti merupakan guru yang tak diragukan lagi kepandaiannya. Kemampuan mengajarnya membuat para siswa menatap kagum tanpa berkedip mata. Bu Sitti memang mengajar pelajaran Matematika. Karena tenaga guru yang sedikit, kadang-kadang ia juga merangkap menagajar Bahasa Indonesia, Fisika, dan Agama.
Hari ini merupakan hari yang melelahkan bagi Ibu Sitti karena kegiatan belajar mengajar berlangsung dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Tapi kelelahan ini dapat ditepis dengan semangat dan antusias muridnya yang sangat membakar-bakar. Karena kelelahan Ibu Sittipun terlelap tidur di selimuti gelap malam.
“Bu..Bu Sitti bangun, sudah subuh,” ucap Mbok Itoh.
“Iya..Mbok, jadi kesiangan karena kelelahan,” balasnya disertai dengan senyum.
Tampak muka Bu Sitti yang begitu lelah, letih, dan pucat. Beranjak Bu Sitti dari ranjang dan bersiap-siap untuk sholat Subuh. Kokok ayam semakin menggema terdengar di telinga dan sang surya mulai bangun dari peristirahatannya. Bu Sitti cepat-cepat pergi untuk ke sekolah untuk melaksanakan upacara Hari Kebangkitan Nasional.
Di perjalanan, nampak hilir mudik Kuda, Kijang, dan Bebek di jalan raya. Upacara Hari Kebangkitan Nasional dimulai, petugas upacara tampak serius dan gugup sedangkan peserta upacara khidmat mengikuti upacara. Jam sudah menunjukkan pukul 8.15 WIB, para siswa menuju kelas untuk menyiapkan bahan untuk pelajaran pertama untuk hari ini. Bu Sitti mulai melangkah ke luar ruang guru dan menuju kelas X F untuk mengajar Matematika.
“Assalamu’alaikum, anak-anak”, ucapnya dengan lembut.
“Wa’alaikumsalam, Bu Sitti”, sambut muridnya dengan semangat.
Pelajaran segera dimulai, secara tegas dan jelas Bu Sitti menerangkan materi pelajaran tentang Logaritma. Para murid tidak melakukan apapun kecuali memerhatikan penjelasan Bu Sitti, bahkan tak ada satupun pena ataupun pensil menari-nari diatas buku. Dari kelas X F Bu Sitti menuju XI IPA 1 selanjutnya XII IPA 3, dan terakhir ke X A untuk mengajar Matematika. Dan semua siswa memperhatikan penjelasan Bu Sitti dengan sangat bersemangat.
Hari-hari berlalu, usia Bu Sitti semakin tua dan menjadi rentan terhadap penyakit. Tapi Mbok Itoh, tetap sabar dan senang hati merawat Bu Sitti. Tak ada perasaan terpaksa, jijik, dan mengeluh. Yang hanya ada kebahagian dan senyuman yang ada di diri Mbok Itoh dalam melaksanakan tugas mulianya itu.
Sudah 3 hari Bu Sitti istirahat di atas ranjang, tak mampu melakukan apapun, yang diandalkannya hanya Mbok Itoh yang selalu setia mendampinginya. Berkat perawatan Mbok Itoh, keadaan Bu Sitti mulai membaik. Ia mulai kembali mengajar dan melakukan kegiatan rutin lainnya, seperti pengajian, silahturahmi, dan duduk bercanda bersama tetangga untuk mengusir rasa bosan dan lelah. Di sekolah Bu Sitti disambut hangat oleh kepala sekolah, para guru, dan tentunya siswa-siswi yang rindu akan wajah dan suara Bu Sitti.










Jalan Tak Ada Ujung

Secara tidak sengaja dan di luar keinginannya, seorang guru Sekolah Rakyat di Tanah Abang terlibat dalam pergolakan revolusi yang sedang terjadi. Guru Isa, demikian ia biasa dipanggil, adalah seorang tamatan HIK yang hidup tenteram semasa penjajahan Belanda. Jiwanya lembut, penyuka musik, sepak bola, dan dikenal sebagai orang baik oleh masyarakat. Berbeda dengan sifatnya yang tak menyukai kekerasan, ia mengalami dan melihat kekejaman tentara Belanda.
Keadaan zaman Jepang terus-menerus meneror dirinya hingga ia menjadi sangat takut meskipun mula-mula hal itu tak disadarinya. Akhirnya lambat-laun ia menyadari ketakutan itu, tapi jiwanya sudah lemah. Kelemahan jiwanya lama-kelamaan memengaruhi keadaan jasmani Guru Isa. Akibatnya, enam bulan setelah perkawinannya dengan Fatimah, ia tak sanggup meladeni dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami; ia menderita impoten. Penyakitnya tak kunjung sembuh meskipun telah berobat ke dokter.
Sesuai dengan jabatannya sebagai wakil ketua panitia keamanan rakyat, Guru Isa menghadiri rapat yang diadakan oleh pemuda Kebon Sirih. Ia tak dapat menolak ketika didesak untuk menerima tugas sebagai kurir, mengantar surat-surat di dalam kota dan senjata yang dibutuhkan dalam perjuangan. Tugas itu dilaksanakannya juga meskipun dirinya merasa enggan dan takut.
Kemudian, Guru Isa berkenalan dengan seorang pemimpin pejuang bernama Hazil. Rasa kagum menyaksikan semangat yang berkobar dalam diri pemuda yang berperawakan kurus itu ditambah dengan kegemaran yang sama akan music Guru Isa seorang violis dan Hazil seorang komponis membuat Guru Isa menjadi akrab dengan Hazil. Keduanya menjadi sahabat karib. Hazil sering mengunjungi Guru Isa di rumahya di Jalan Jaksa. Guru isa melupakan kemalangannya dan saat-saat seperti itu membuatnya merasa bahagia.
Guru Isa dan Hazil bersama-sama berjuang dalam alur revolusi melawan Belanda yang berniat menancapkan kembali kekuasaannya setelah Jepang kalah. Hanya motivasi yang mendorong kedua sahabat itu berbeda. Guru Isa berjuang karena terpaksa dan takut, sedangkan Hazil berjuang karena cita-cita pribadinya.
Perjuangan bagi Guru Isa sangat mengerikan. Ia terpaksa turut metnindahkan senjata-senjata dari ibu kota ke luar kota. Terpaksa pula is harus berhubungan dengan orang-orang kasar dan buas. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai kurir, ia selalu dikejar-kejar rasa takut. Bila ketakutan Guru Isa menjadi-jadi, ia  jatuh  sakit. Penyakit malarianya kambuh
Jika Guru Isa sakit, Hazil-lah yang selalu menjenguk dan memberi semangat agar sahabatnya itu sembuh. Namun, jika sembuh, Guru Isa tak mampu menahan panggilan tugasnya untuk mengajar murid-muridnya.
Di sela-sela Guru Isa sakit dan mengajar itu terjadi peristiwa antara Hazil dan Fatimah, istri Guru Isa. Fatimah akhirnya tak sanggup menahan derita karena suaminya impoten. Meskipun pada awalnya is merasa jijik kalau mengingat keintimannya bersama kebutuhan biologisnya dan mimpinya meraih kepuasan selalu mengalahkan rasa jijiknya.
Akhirnya, hubungan mesra Fatimah dengan Hazil diketahui oleh Guru Isa ketika menemukan pipa rokok Hazil di bawah bantalnya. Ia sangat marah. Ia mau menghancurkan istrinya kalau saja istrinya ada di rumah pada saat ini. Namun setelah emosinya reda, ia merasa takut untuk menanyakan hal itu kepada istrinyai Ia makin merasa rendah diri karena ketidakberdayaannya melakukan tugas sebagai suami.
Suatu hari, Guru Isa bersama Hazil dan Rachmat mendapat tugas melemparkan granat di Kramat setelah bioskop bubar. Pekerjaan itu herjalan dengan baik. Namun, beberapa hari kemudian Guru Isa mendapat berita bahwa salah satu pelempar granat itu tertangkap Belanda.
Guru Isa ingin melarikan diri, tetapi tak jadi setelah berpikir tak ada orang yang akan menyembunyikannya. Akhirnya, ia menunggu dan menghadapi apa pun yang akan terjadi pada dirinya. Pada waktu menunggu ini timbul kembali kesadaran bahwa sesuatu yang dibayangkan ternyata lebih besar daripada kejadian yang sebenarnya.
Kemudian, Guru Isa ditangkap oleh tentara Belanda. Ia disiksa supaya mengakui perbuatannya. Timbul niatnya untuk mengakui semua perbuatannya, tetapi rasa takutnya kembali menutup mulutnya. Ia tak membuka mulut.
Suatu ketika Polisi Milker mempertemukan Hazil di kamar tahanan Guru Isa. Tampak pula bekas siksaan pada wajah Hazil. Namun, dalam pandangan Guru Isa, Hazil kini tidak lagi seperti yang dikenalnya. Temannya yang selama ini dikagumi memiliki semangat yang menyala-nyala dan selalu kelihatan tegar, hanya dengan “sebuah tempeleng di kepalanya sudah cukup menyuruhnya bercerita. Hazil telah mengkhianati kawannya, perjuangannya. Melihat begitu rapuhnya jiwa temannya, timbul kesadaran baru dalam diri Guru Isa. Jika Hazil akhirnya dihancurkan oleh ketakutannya sendiri, Guru Isa tidak mau mengalami hal yang sama.
“Guru Isa merasa perobahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan pada tubuhnya tidak menakutkannya lagi. …Orang harus belajar hidup dengan ketakut-ketakutannya…. Sekarang dia tahu…. Tiap orang punya ketakutannya sendiri, dan mesti belajar hidup dan mengalahkan ketakutannya.”
Begitulah, kesadaran Guru Isa ini berhasil mengatasi ketakutan yang selama ini selalu mengganggu jiwanya. Kesadaran ini pula yang memulihkan kejantanannya sebagai lelaki. Ia tak lagi impoten. Perasaan bahagia menyelimuti Guru Isa. Kesembuhan jiwa dan raga Guru Isa, sungguh telah membawanya merasa sebagai pemenang. “Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas.”



No comments: